Mengapa Daendels Bubarkan Limbangan?

Ilustrasi Herman Willem Daendels, dilukis oleh Raden Saleh
📷 Sumber ilustrasi: wikipedia.org.

Dikenal memiliki kepribadian yang kuat, pada tahun 1808 seorang bernama Herman Willem Daendels (1762-1818) tiba di Jawa dengan penuh percaya diri. Sebagai Gubernur Jenderal, ia mengemban tugas penting untuk membangun kembali kekuasaan Belanda di Jawa setelah VOC (Vereeniging Oost-Indische Compagnie) bangkrut karena berbagai macam kelalaian.

Apalagi ia dituntut untuk memertahankan Jawa sebagai sumber keuangan Belanda dari ancaman Inggris. Makin berat lah tugasnya untuk melakukan perubahan berarti di Jawa.

Kebalikan dari itu, kedatangannya justru menjadi mimpi buruk bagi Bupati Limbangan. Daendels menganggap bahwa Garut (saat itu bernama Kabupaten Limbangan) hanya berupa kawasan pedalaman yang tak memiliki arti apa-apa. Tidak berartinya Kabupaten Limbangan mendorong Daendels untuk membubarkannya.

Kompilasi data antara Sulaeman Anggapradja dengan bukunya Sejarah Garut dari Masa ke Masa (1984), Jan Breman dengan Keuntungan Kolonial dari Kerja Paksa: Sistem Priangan dari Tanam Paksa Kopi di Jawa, 1720-1870 (2014) dan Sartono Kartodirdjo dengan Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900 Dari Emporium Sampai Imperium (1988) kiranya dapat menjelaskan peristiwa bubarnya Kabupaten Limbangan itu.

Pembubaran terjadi pada tahun 1811 melalui besluit tanggal 2 Maret. Kawasan Priangan hanya terdiri dari Kabupaten Cianjur, Bandung, Sumedang dan Parakanmuncang. Kabupaten Limbangan digabung ke dalam Kabupaten Parakanmuncang bersamaan dengan Kabupaten Soekapoera (kini Tasikmalaya). Pembubaran itu dilatarbelakangi oleh dua sebab.

Sebab pertama adalah dampak dari kebijakan reformasi birokrasi. Daendels melakukan sistematisasi dengan pembagian ulang kabupaten-kabupaten di Priangan.

Sebelumnya, kekuasaan VOC di Jawa dijalankan dengan kesemrawutan administrasi dan peraturan. Misalnya tidak adanya peta wilayah Jawa yang jelas serta data statistik dan ekonomi yang tidak akurat membuat pemerintahan Daendels sulit mengenal seluk-beluk Jawa dengan baik. Belum lagi laporan tahunan VOC yang tidak lengkap dan pengabaian aturan dari pemimpin yang baru atas pemimpin sebelumnya.

Maka, Daendels memutuskan untuk menyederhanakan sistem pemerintahan yang hirarkis (berjenjang). Melalui pembagian ulang kawasan Priangan, termasuk dibubarkannya Kabupaten Limbangan, diharapkan jalannya pemerintahan kolonial Belanda akan lebih efektif.

Para bupati di Jawa yang semula otonom (berdiri sendiri), kemudian dianggap sebagai ambtenaar atau pegawai pemerintah kolonial Belanda. Selain untuk penertiban administrasi pemerintahan, tujuan lainnya adalah supaya menghapus sistem feodal yang tak sejalan dengan semangat ekonomi liberal pemerintah kolonial.

Peraturan itu menjadikan pemerintah kolonial dapat mengangkat dan memberhentikan bupati. Pejabat di bawah bupati pun ditentukan dan diangkat oleh pemerintah. Para pejabat kabupaten diberi pangkat serupa jabatan orang-orang Eropa di pemerintahan.

Daendels kemudian mengeluarkan kebijakan agar para bupati itu mendapat gaji tetap tiap tahunnya sebesar 4.000 ringgit (1 ringgit = 2,5 gulden). Namun karena ketidaksiapan pemerintah para bupati tidak digaji secara tetap, melainkan masih digaji secara tradisional. Bupati akan mendapat sepersepuluh dari hasil panen kopi atau tanaman ekspor lainnya.

Pemerintah juga mengatur agar sebagian yang didapat oleh bupati itu harus dibagikan juga kepada bawahannya. Selain itu, para pejabat kabupaten mendapat keuntungan berupa natura (hasil bumi) dari sawah-sawah petani.

Pengaturan sepersepuluh dan kewajiban bupati membagi kepada bawahannya menjadi penting untuk meningkatkan laba bagi pemerintah. Sebelumnya, para bupati di Jawa mendapatkan persenan yang tinggi dari hasil panen. Bahkan setoran dari petani untuk bupati beserta keluarga tiap tahunnya dapat mencapai 300.000 ringgit. Belum lagi hak diskresi yang membebaskan bupati membagi atau tidak membagi sebagian penghasilannya kepada bawahan.

Tentu hal itu dikhawaritkan akan makin meresahkan petani dan para pejabat bawahan. Lalu akan membuat proses tanam menjadi lebih berat dan memengaruhi keuntungan yang masuk ke kas pemerintah kolonial.

Sebab kedua adalah persoalan wajib serah kopi. Daendels tetap memertahankan sistem yang telah ada sejak masa VOC. Ia meneruskan kebijakan wajib serah kopi untuk daerah Priangan karena pemasukannya untuk pemerintah sangat besar.

Celakanya, produksi kopi daerah Limbangan di tahun 1810-1811 terus menurun hingga titik paling rendah nol. Padahal menurut catatan Inspektur-Jenderal Urusan Kopi, penanaman kopi di Limbangan pada periode sebelumnya bisa mencapai 346.320 pohon. Belum diketahui faktor penyebab penanaman kopi bisa menurun separah itu.

Tak hanya itu, Bupati Limbangan pun menolak untuk menanam nila (indigo). Padahal tanaman itu sedang diupayakan pemerintah kolonial untuk ditingkatkan produksinya selain kopi. Merosotnya produksi perkebunan di Limbangan menjadikan Daendels mengabaikan kabupaten tersebut.

Dua sebab itulah yang menyebabkan Kabupaten Limbangan dibubarkan. Akhirnya lewat reformasi birokrasi itu Deandels melakukan penataan ulang terhadap kabupaten-kabupaten di Priangan menjadi lebih sederhana. Semakin efektif pemerintahan, maka semakin banyak laba yang didapatkan.

Bupati Limbangan kemudian diberhentikan dari jabatannya dengan hak pensiun (tetap tinggal di daerahnya) dan uang pensiun tiap tahunnya sebesar 400 ringgit.

Ketika tampuk kekuasaan beralih ke tangan Raffles, Kabupaten Limbangan kembali dibentuk tahun 1813. Namun peristiwa pembubaran membuat Bupati Limbangan saat itu kehilangan tahta, kehilangan wilayah dan kehilangan kewibawaan.

_____________________________________________________________________________________________

Oleh: Min Malega (Masalewat Garut)

Tinggalkan komentar